1. Penelusuran Benang Merah (Study in Scarlet)
1.1 Bagian I – Salinan Catatan Harian Dokter John H. Watson, Pensiunan Departemen Medis Angakatan Darat
1.1.5 Bab V – Iklan Jebakan
Kegiatan pagi itu agak berlebihan bagi kesehatanku, dan aku merasa kelelahan di siang harinya. Setelah Holmes pergi menonton konser, aku membaringkan diri di sofa dan berusaha tidur selama satu-dua jam. Usaha yang sia-sia. Pikiranku terlalu aktif akibat semua kejadian yang telah berlangsung dan segala keanehan yang meliputinya. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat ekspresi korban yang mirip kera. Begitu mengerikan kesan yang ditimbulkan wajah tersebut sehingga rasanya aku ingin mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengenyahkan korban dari dunia ini. Seumur hidup, belum pernah aku melihat wajah yang lebih kejam daripada wajah Enoch J. Drebber. Sekalipun begitu, aku tetap beranggapan bahwa keadilan harus ditegakkan. Kondisi fisik korban tak boleh menjadi bahan pertimbangan di mata hukum.
Semakin kupikirkan, aku semakin meragukan hipotesis temanku bahwa pria tersebut telah
diracuni. Aku ingat bagaimana Holmes mengendus pria itu, dan mungkin mendeteksi sesuatu
menimbulkan gagasan tersebut. Tapi kalau bukan racun, apa penyebab kematian pria itu? Tak ada
luka atau bekas cekikan. Dan lagi, darah siapa yang berceceran di lantai? Tidak ada tanda-tanda
perkelahian, korban pun tidak memiliki senjata yang mungkin digunakannya untuk melukai lawan.
Selama pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab, aku jadi sulit tidur.
Holmes pulang terlambat, sehingga aku menduga ia bukan hanya menonton konser. Makan
malam telah siap di meja ketika ia tiba.
"Luar biasa," katanya sambil duduk. "Kauingat apa kata Darwin tentang musik? Dia
mengklaim bahwa kemampuan untuk menghasilkan dan menikmati musik sudah ada pada manusia
lama sebelum mereka bisa berbicara. Mungkin itu sebabnya kita secara tak sadar begitu dipengaruhi
musik. Ada kenangan samar dalam jiwa kita akan abad-abad ketika dunia masih dalam tahap kanakkanak."
"Itu gagasan yang berlebihan," kataku.
"Gagasan seseorang haruslah sebesar alam, kalau ia ingin menafsirkan alam itu," tukas
Holmes. "Ada masalah apa? Kau tampak murung. Kasus lauriston Gardens ini mengganggumu,
ya?"
"Sejujurnya, ya. Aku seharusnya lebih mampu menghadapinya setelah pengalamanku di
Afghanistan. Aku sudah melihat rekan-rekanku dicincang di Maiwand tanpa kehilangan
keberanianku."
"Bisa kupahami. Ada misteri dalam hal ini yang memicu imajinasi. Jika tak ada imajinasi,
tak ada ketakutan. Kau sudah membaca koran sore?"
"Belum."
"Laporan mengenai kasus itu cukup bagus. Tapi tidak menyinggung fakta bahwa sewaktu
korban diangkat, ada cincin pernikahan wanita yang jatuh ke lantai. Memang sebaiknya begitu."
"Kenapa?"
"Lihat iklan ini," jawab Holmes. "Aku mengirimkannya ke setiap koran tadi pagi setelah
mengetahui kasus ini."
Holmes melemparkan koran ke arahku, dan aku melirik kolom yang ditunjukkannya. "Pagi
ini di Brixton Road," demikian bunyi iklan itu, "ditemukan sebentuk cincin kawin. Cincin ini
ditemukan tepatnya di jalan antara White Hart Tavern dan Holland Grove. Hubungi Dr. Watson,
Baker Street No. 22IB, antara pukul delapan dan sembilan malam."
"Maaf karena aku menggunakan namamu," kata Holmes. "Kalau kugunakan namaku sendiri,
pasti ada orang iseng yang mengenalinya, dan ingin ikut campur dalam masalah ini."
"Tak apa-apa," jawabku. "Tapi seandainya ada yang datang, aku tidak memiliki cincinnya."
"Oh, ya, ada." Holmes memberikan sebuah cincin kepadaku. "Cukup bagus, kan? Sangat
mirip."
"Menurutmu, siapa yang akan menanggapi iklan ini?"
"Tentu saja pria bermantel cokelat dengan sepatu berujung persegi. Kalau bukan dia sendiri
yang datang, pasti temannya."
"Apa dia tidak akan menganggap hal ini berbahaya?"
"Sama sekali tidak. Bila perkiraanku mengenai kasus ini benar, dan aku memiliki semua
alasan antuk percaya memang begitu, pria ini pasti lebih suka mengambil risiko daripada
kehilangan cincinnya. Menurutku cincin itu jatuh sewaktu dia membungkuk di atas mayat Drebber,
dan saat itu dia tidak menyadarinya. Dia baru sadar setelah meninggalkan rumah, dan bergegas
kembali, tapi mendapati polisi telah berada di sana akibat kesalahannya sendiri, meninggalkan lilin
yang masih menyala. Dia berpura-pura mabuk antuk menghindari kecurigaan yang mungkin timbul
karena kemunculannya di gerbang taman. Sekarang tempatkan dirimu pada posisinya. Setelah
memikirkannya kembali, pasti terlintas dalam benaknya kemungkinan cincin itu terjatuh di jalan
setelah dia meninggalkan rumah. Apa yang akan dilakukannya? Dengan penuh semangat dia akan
membaca semua koran sore dengan harapan iklan tentang cincin itu ada pada kolom 'Ditemukan'.
Kubayangkan matanya berbinar ketika membaca iklanku. Dia pasti sangat gembira. Kenapa dia harus cemas kalau-kalau ini jebakan? Dalam pandangannya, penemuan cincin itu sama sekali tak
ada hubungannya dengan pembunuhan yang dilakukannya. Dia akan datang. Percayalah padaku.
Kau akan berjumpa dengannya satu jam lagi."
"Sesudah itu bagaimana?" tanyaku.
"Aku yang akan menghadapinya. Kau punya senjata?"
"Ada revolver dinasku yang lama dan beberapa butir peluru."
"Sebaiknya kaubersihkan revolver itu dan isi pelurunya. Meskipun dia tak menaruh curiga
pada kita, orang yang terjepit bisa melakukan apa saja. Jadi sebaiknya kita bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan."
Aku pergi ke kamar tidurku dan mengikuti saran Holmes. Sewaktu aku keluar kembali
membawa pistol, meja makan telah dibersihkan, dan Holmes tengah melakukan kegiatan
kesukaannya: menggesek biola secara sembarangan
"Ceritanya semakin seru," katanya sewaktu aku masuk. "Aku baru saja mendapat jawaban
telegram yang kukirim ke Amerika. Pandanganku tentang kasus ini benar."
"Yaitu...?" tanyaku penuh semangat.
"Biolaku akan lebih merdu kalau mendapat senar baru," kata Holmes tak menjawab
pertanyaanku. "Simpan pistolmu di saku. Saat dia datang, bicaralah dengan nada biasa. Selanjutnya
biar aku yang mengurus. Jangan membuatnya takut dengan menatapnya terlalu tajam."
"Sekarang sudah pukul delapan," kataku, melirik arloji.
"Ya. Dia mungkin akan tiba beberapa menit lagi. Buka pintunya sedikit. Itu cukup. Sekarang
letakkan kuncinya di sebelah dalam. Terima kasih! buku tua ini kutemukan di kios barang bekas
kemarin... De Jure Inter Gentes—diterbitkan dalam bahasa Latin di Liege, Lowlands, tahun 1642.
Kepala Charles masih utuh di lehernya sewaktu buku kecil bersampul cokelat ini terbit."
"Siapa pencetaknya?"
"Philippe de Croy, entah siapa dia. Di halaman dalam, dengan tinta yang sudah sangat pudar,
tertulis 'Ex libris Guliolmi Whyte.' Aku penasaran siapa William Whyte ini. Pengacara abad ketujuh
belas yang pragmatis, mungkin. Tulisannya memiliki kecenderungan ke arah hukum... Nah, kurasa
orang yang kita tunggu-tunggu sudah datang."
Terdengar dering bel. Holmes perlahan-lahan bangkit dan memindahkan kursinya ke arah
pintu. Kami mendengar langkah kaki pelayan melintasi lorong, dan ceklikan keras saat selot pintu
depan dibuka.
"Di sini tempat tinggal Dr. Watson?" tanya seseorang dengan suara jelas namun agak serak.
Kami tidak bisa mendengar jawaban pelayan, tapi pintu terdengar ditutup, dan ada orang menaiki
tangga. Langkah kakinya tidak mantap dan agak diseret. Ekspresi terkejut melintas di wajah
temanku saat ia mendengarkan bunyi langkah-langkah kaki itu. Tak lama kemudian, pintu
apartemen kami diketuk pelan.
"Masuk!" seruku.
Yang masuk bukanlah pria yang biasa menghadapi
kekerasan sebagaimana dugaan kami. Tapi seorang wanita
yang sangat tua dan keriput dengan langkah terhuyunghuyung.
Ia tertegun karena cahaya terang benderang yang tibatiba,
dan setelah membungkuk memberi hormat, ia berdiri
memandang kami dengan mata merah berkedip-kedip.
Tangannya bergerak-gerak di saku dengan gugup, gemetar.
Kulirik temanku, dan ia tampak melamun sehingga aku hanya
bisa melanjutkan aktingku.
Wanita tua itu mengeluarkan sehelai koran sore dan
menunjuk iklan kami. "Ini yang mem-bawaku kemari, tuantuan
yang baik," katanya, sambil membungkuk memberi
hormat sekali lagi, "cincin kawin emas di Brixton Road. Itu
cincin putriku, Sally, yang baru setahun menikah dan suaminya
bekerja di kapal Union. Apa kata menantuku sepulangnya
nanti, kalau dia tahu istrinya telah menghilangkan cincin
kawin. Aku tak berani membayangkan reaksinya. Dia pemarah, apalagi kalau sedang mabuk.
Putriku Sally semalam menonton sirkus dan..."
"Ini cincinnya?" potongku.
"Puji Tuhan!" seru wanita tua itu. "Sally akan menjadi wanita yang paling gembira malam
ini. Itu memang cincinnya."
"Di mana rumah Anda?" tanyaku sambil meraih pensil.
"Duncan Street No. 13, Houndsditch. Cukup iuh dari sini."
"Brixton Road tidak terletak di antara Houndsditch dan sirkus mana pun," sela Sherlock
Holmes tajam.
Wanita tua itu berpaling dan menatap temanku dengan cermat. "Tuan ini menanyakan rumahku" katanya. "Sally tinggal di Mayfield Place No. 3, Peckham."
"Nama Anda..."
"Sawyer... putriku Sally Dennis... karena dia menikah dengan Tom Dennis. Menantuku itu
awak kapal yang baik, sikapnya di kapal juga baik dan terpuji. Tapi di darat, dengan wanita-wanita
jalang dan toko-toko minuman itu..."
"Ini cincinnya, Mrs. Sawyer," selaku, mematuhi syarat temanku. "Jelas ini milik putri Anda,
dan aku senang bisa mengembalikannya kepada yang berhak."
Diiringi ucapan terima kasih bertubi-tubi, wanita tua itu mengantongi cincin yang kuberikan
dan tertatih-tatih menuruni tangga. Holmes melompat bangkit begitu wanita itu menghilang dan
bergegas ke kamar tidurnya. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan mengenakan mantel dan
topi.
"Aku akan mengikuti wanita itu," katanya tergesa-gesa. "Dia pasti suruhan orang yang kita
cari dan akan membawaku kepadanya. Tunggu aku."
Pintu depan belum lagi ditutup setelah tamu kami keluar, sewaktu Holmes menuruni tangga.
Saat memandang ke luar jendela, aku bisa melihat wanita tua itu berjalan terhuyung-huyung di
seberang jalan, sementara penguntitnya agak jauh di belakang.
Entah seluruh teori Holmes salah, pikirku, atau dia akan dibawa ke jantung misteri ini.
Sebenarnya Holmes tidak perlu memintaku menunggu, karena mustahil aku bisa tidur sebelum
mendengar hasil pelacakannya.
Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan waktu Holmes meninggalkan rumah. Aku tidak
tahu berapa lama ia akan pergi, jadi aku duduk saja mengisap pipa sambil membalik-balik Vie de
Boheme karya Henri Murger. Pukul sepuluh berlalu, dan aku mendengar bunyi langkah kaki
pelayan saat ia bersiap-siap tidur. Pukul sebelas... langkah kaki yang lebih halus melewati pintu.
Berarti wanita induk semang kami juga akan tidur. Menjelang pukul dua belas, baru aku mendengar
selot pintu depan dibuka. Begitu Holmes masuk, aku bisa melihat dari ekspresi wajahnya bahwa ia
tidak berhasil. Penyesalan dan rasa geli tampaknya saling berjuang untuk mendominasi, sampai rasa
geli memenangkan pergulatan itu dan Holmes tertawa terbahak-bahak.
"Jangan sampai orang-orang Scotland Yard itu tahu!" serunya sambil menjatuhkan diri ke
kursi. Aku sudah begitu sering mengalahkan mereka seningga mereka tidak akan berhenti
mengejekku untuk yang satu ini. Tapi aku masih bisa tertawa, karena aku yakin aku bisa membalas
dendam pada kedua pengecohku."
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
"Aku tertipu mentah-mentah, Dokter. Seperti kau tahu, aku mengikuti Mrs. Sawyer. Dia
belum jauh berjalan sewaktu mulai terpincang-pincang dan menunjukkan semua tanda kalau
kakinya sakit. Kemudian dia berhenti dan memanggil kereta yang melintas. Aku berusaha
mendekatinya supaya bisa mendengar alamatnya, tapi ternyata aku tak perlu repot-repot karena dia
menyebutkan alamatnya dengan begitu keras sehingga bisa didengar dari seberang jalan. 'Ke
Duncan Street No. 13, Houndsditch!' serunya. Kelihatannya dia tidak bohong, pikirku. Itu alamat
yang diberitahukannya kepada kita. Setelah dia masuk ke kereta, aku cepat-cepat melompat naik
dan menumpang di belakang kereta itu. Ini keahlian yang seharusnya dikuasai semua detektif. Nah,
kereta pun melaju, dan tidak berhenti hingga tiba di alamat yang dituju. Aku melompat turun
sebelum kami tiba di sana, dan melangkah menyusuri jalan dengan lagak santai. Aku melihat kereta
itu berhenti. Kusirnya melompat turun dan membuka pintu, menunggu sang penumpang keluar.
Tapi tidak ada yang keluar. Sewaktu aku tiba di dekat kusir, kulihat dia tengah melongok ke dalam
kereta yang kosong sambil menyumpah-nyumpah. Penumpangnya telah menghilang tanpa jejak,
dan dia takkan mendapat upah. Ketika bertanya pada penghuni rumah No. 13, kami mendapat
informasi bahwa rumah itu milik pria bernama Keswick, dan mereka sama sekali tidak mengenal
Mrs. Sawyer atau Mrs. Dennis."
"Maksudmu," seruku heran, "wanita tua yang jalannya tertatih-tatih itu mampu melompat
turun dari kereta yang sedang melaju? Dan kau maupun kusir tidak melihatnya?"
"Wanita tua apa!" kata Sherlock Holmes tajam. "Kitalah yang layak disebut wanita tua
karena terkecoh olehnya. Dia pasti masih muda, laki-laki muda yang pandai berakting. Dia tahu
kalau dirinya diikuti, dan dengan cerdik berhasil meloloskan diri. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa pembunuh yang kita cari tidaklah bekerja seorang diri sebagaimana
bayanganku semula. Dia memiliki teman yang bersedia mengambil risiko untuknya. Nah, Dokter,
kau tampaknya sudah kehabisan tenaga, sebaiknya kau tidur sekarang."
Aku memang merasa sangat lelah, jadi kuturuti saran itu. Kutinggalkan Holmes yang masih
duduk di depan perapian yang menyala, menggesek biola sampai hari menjelang pagi. Alunan
nadanya yang melankolis menandakan bahwa sang detektif sedang memikirkan masalah aneh yang
dihadapinya.
0 komentar:
Posting Komentar