1. Penelusuran Benang Merah (Study in Scarlet)
1.1 Bagian I – Salinan Catatan Harian Dokter John H. Watson, Pensiunan Departemen Medis Angakatan Darat
1.1.6 Bab VI – "Keberhasilan" Tobias Gregson
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan di Lauriston Gardens memenuhi koran-koran. Masing-masing koran mengulas kasus yang mereka sebut "Misteri Brixton" itu secara panjanglebar, bahkan ada yang menyajikannya sebagai berita utama. Aku memperoleh beberapa informasi baru dari berita-berita itu. Inilah ringkasan kliping-kliping yang kukumpulkan tentang kasus tersebut:
Daily Telegraph memberi komentar bahwa dalam sejarah kejahatan, jarang sekali ada
pembunuhan yang ciri-cirinya lebih aneh dari pembunuhan ini. Nama korban yang berbau Jerman,
tidak adanya motif perampokan atau motif-motif lain, dan kata yang tertulis di dinding, semuanya
mengisyaratkan keterlibatan pelarian politik dan kaum sosialis Jerman. Sosialisme Jerman memiliki
banyak pengikut di Amerika. Tak diragukan lagi bahwa korban telah melanggar hukum tidak
tertulis mereka dan karena itu harus disingkirkan. Selah menyinggung teori-teori hebat seperti
Vehmgericht, Darwin, dan Malthus, serta mengungkit-ungkit pembunuhan di Ratcliff Highway,
penulis artikel tersebut mengecam pemerintah dan menuntut agar dilakukan pengawasan yang lebih
ketat terhadap orang asing di Inggris.
Standard berpendapat bahwa pembunuhan keji seperti ini biasanya timbul dalam
pemerintahan liberal. Ketidakpuasan masyarakat dan pemerintah rang lemah berakumulasi pada
tindak kriminal yang melampaui batas. Menurut penyelidikan, korban adalah warga negara Amerika
yang sudah beberapa minggu tinggal di London. Ia menginap di tempat kos Madame Charpentier, di
Torquay trrace, Camberwell. Dalam perjalanannya, korban ditemani sekretaris pribadinya, Mr.
Joseph Stangerson. Keduanya mengucapkan selamat berpisah kepada induk semang mereka pada
hari Selasa, tanggal 4, dan berangkat ke Stasiun Euston dengan niat menumpang kereta Liverpool
Express. Ada saksi mata yang melihat mereka di peron, tapi setelah itu kedua orang tersebut tak
kedengaran lagi beritanya sampai mayat Mr. Drebber ditemukan di sebuah rumah kosong di Brixton
Road, berkilo-kilometer jauhnya dari Euston. Bagaimana ia bisa berada di sana, atau bagaimana
hidupnya berakhir, masih merupakan misteri. Begitu pula tentang keberadaan Stangerson.
Syukurlah, kasus ini ditangani oleh Mr. Lestrade dan Mr. Gregson, dua detektif andalan Scotland
Yard, dan kita boleh berharap mereka akan segera memecahkannya.
Daily News mengamati bahwa kasus kejahatan ini bersifat politis. Kebencian terhadap
Liberalisme yang mewarnai pemerintahan Inggris, menyebabkan kita kehilangan sejumlah orang yang mestinya dapat menjadi warga negara teladan. Para penganut Liberalisme ini mempunyai
peraturan-peraturan sendiri, yang bila dilanggar berarti hukuman mati. Polisi harus segera
menemukan sekretaris korban, Stangerson, untuk mendapat informasi yang lebih rinci tentang
korban. Beruntung, ketekunan Mr. Gregson, detektif Scotland Yard, membuahkan hasil. Beliau telah
memperoleh alamat penginapan Stangerson.
Holmes tampak geli ketika membaca artikel-artikel itu bersamaku saat sarapan.
"Sudah kubilang, Watson, apa pun yang terjadi, pasti Lestrade dan Gregson yang mendapat
pujian."
"Belum tentu, tergantung bagaimana akhirnya nanti."
"Ah, kau masih tak mengerti. Jika si pembunuh tertangkap, itu dianggap karena usaha
mereka. Jika si pembunuh berhasil meloloskan diri, itu akan dimaklumi karena mereka dianggap
sudah berusaha keras. Bagaimanapun akhirnya nanti, kedua detektif itu akan selalu menang. Itu
kenyataan..."
"Hei, ada apa itu?" seruku, mendengar bunyi langkah-langkah kaki yang ribut di lorong dan
di tangga, ditimpali oleh seruan-seruan jengkel induk semang kami.
"Itu satuan detektif polisi divisi Baker Street,"
kata temanku dengan nada serius. Sementara ia rerbicara,
masuklah "satuan detektif polisi" itu, yaitu setengah lusin
anak jalanan yang paling kotor dan paling lusuh yang
pernah kulihat.
"Siap!" Holmes memberi aba-aba, dan keenam
berandal cilik itu berdiri berjajar bagaikan sederet
patung. "Lain kali, Wiggins saja yang melapor, dan yang
lainnya menunggu di jalan, mengerti? Kau sudah
menemukannya, Wiggins?"
Belum, Sir," jawab yang ditanya.
"Sudah kudugai. Kalian harus terus berusaha
sampai menemukannya. Ini upah kalian." Holmes
memberi mereka masing-masing satu shilling. "Sekarang
pergilah, dan kembalilah dengan laporan yang lebih
baik."
"Pengemis-pengemis kecil ini dapat memperoleh lebih banyak informasi daripada selusin polisi," kata Holmes padaku. "Melihat sosok polisi saja semua orang sudah menutup mulut. Tapi
bocah-bocah ini bisa pergi ke mana saja dan mendengarkan percakapan apa saja. Mereka juga
sangat cerdas, hanya perlu diorganisir."
"Kau mempekerjakan mereka untuk kasus Brixton?" tanyaku
"Ya, ada satu hal yang ingin kupastikan. Aku akan mendapatkan informasi itu, kau tunggu
saja. Wah, lihat itu! Gregson sedang menyusuri jalan dengan ekspresi penuh kemenangan! Dia pasti
akan ke tempat kita... benar, dia berhenti. Itu dia!"
Bel pintu berdentang, dan beberapa detik kemudian terdengar langkah kaki detektif itu
menaiki tangga, tiga anak tangga sekaligus. Gregson menghambur masuk ke ruang duduk kami
dengan penuh semangat.
"Temanku yang baik!" serunya sambil mengguncang-guncang tangan Holmes, sementara
temanku tidak bereaksi. "Beri aku selamat! Aku sudah mengungkapkan semuanya hingga tuntas!"
Kegelisahan melintas di wajah temanku.
"Maksudmu kau sudah berada di jalur yang benar?" tanyanya.
"Jalur yang benar! Bukan hanya itu! Kami sudah menangkap dan menahan pelakunya!"
"Siapa dia?"
"Arthur Charpentier, letnan dua di Angkatan Laut Kerajaan," jawab Gregson dengan sikap
sok. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya yang gemuk dan membusungkan dadanya.
Holmes mendesah lega dan tersenyum.
"Duduklah dan cicipi cerutunya," ia menyilakan. "Kami sangat ingin tahu bagaimana kau
bisa menangkap orang itu. Kau mau minum whisky?"
"Terima kasih, aku memang membutuhkannya. Kerja kerasku selama satu-dua hari ini
benar-benar menguras tenaga. Bukan tenaga fisik, tapi lebih banyak pikirannya. Kau tentu mengerti,
Mr. Sherlock Holmes, karena kita berdua adalah pekerja otak."
"Kau terlalu memujiku," kata Holmes seakan bersungguh-sungguh. "Coba ceritakan,
bagaimana kau mendapatkan hasil ini."
Gregson duduk di kursi berlengan, mengisap cerutu dengan ekspresi puas. Lalu tiba-tiba, ia
menampar pahanya dengan gembira.
"Yang lucu," serunya, "adalah si bodoh Lestrade itu, yang mengira dirinya cerdas. Dia
mengikuti jejak yang salah sama sekali. Dia memburu Stangerson, yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pembunuhan ini. Aku yakin sekarang dia sudah menangkap Stangerson."
Hal itu rupanya membuat Gregson begitu geli sehingga ia tertawa sampai tersedak.
"Bagaimana caramu mendapatkan petunjuk?" tanya Holmes.
"Ah, akan kuceritakan semuanya. Tentu saja, Dr. Watson, ini hanya di antara kita. Nah,
kesulitan pertama yang kami hadapi adalah bagaimana menemukan alamat serta latar belakang
korban. Detektif-detektif lain pasti hanya akan memasang iklan dan menunggu jawabannya, atau
menunggu sampai ada orang datang menyampaikan informasi secara sukarela. Namun bukan begitu
cara kerja Tobias Gregson. Kalian ingat topi yang tergeletak di samping mayat korban?"
"Ya," kata Holmes, "buatan John Underwood and Sons, Camberwell Road No. 129."
Gregson tertegun.
"Aku tidak tahu kalau kau menyadarinya," katanya. "Kau sudah ke sana?"
"Belum."
"Ha!" seru Gregson lega. "Seharusnya kau tidak melewatkan kesempatan, betapapun
kecilnya."
"Bagi pikiran yang luas, tidak ada apa pun yang kecil," komentar Holmes.
"Nah, aku mengunjungi Underwood," lanjut Gregson. "Aku bertanya apakah dia pernah
menjual topi dengan ukuran serta ciri-ciri topi korban. Underwood memeriksa catatannya dan
seketika menemukannya. Dia mengirimkan topi itu kepada Mr. Drebber yang tinggal di Tempat Kos
Charpentier, Torquay Terrace. Begitulah, aku mendapatkan alamat korban."
"Cerdik... sangat cerdik!" gumam Holmes.
"Aku melanjutkan penyelidikanku dan pergi ke Tempat Kos Charpentier. Kulihat Madame
Charpentier dalam keadaan pucat dan tertekan. Putrinya juga ada di sana—gadis yang sangat
menawan, tapi matanya merah dan bibirnya gemetar sewaktu aku berbicara dengannya. Tentu saja
hal itu tak luput dari pengamatanku. Aku lulai mencium sesuatu yang mencurigakan. Kau tahu
perasaan itu, Mr. Sherlock Holmes. Saat menemukan jejak yang benar, semangat kita bagai
terbakar. 'Kalian sudah mendengar tentang kematian misterius Mr. Enoch J. Drebber?' tanyaku. 'Pria
Amerika itu menyewa kamar di sini, bukan?'
"Madame Charpentier mengangguk. Wanita itu tampaknya tidak mampu berbicara. Putrinya
tiba-tiba menangis. Aku semakin yakin kalau orang-orang ini tahu tentang pembunuhan tersebut.
"'Pukul berapa Mr. Drebber meninggalkan rumah untuk menuju stasiun kereta?' tanyaku.
"'Pukul delapan,' sahut Madame Charpentier, sambil menelan ludah dengan susah payah
seolah-olah ingin menenangkan diri. 'Sekretarisnya, Mr. Stangerson, mengatakan bahwa ada dua
kereta— pukul 9.15 dan pukul 11.00. Mr. Drebber berniat naik kereta yang pertama.'
"'Dan itu terakhir kali kalian bertemu dengannya?'
"Wajah Madame Charpentier jadi pucat pasi ketika dia mendengar pertanyaan itu. Dia memerlukan
waktu beberapa detik sebelum menjawab singkat, 'Ya.' Saat berbicara, suaranya pelan dan
tidak wajar.
"Sejenak kami semua terdiam, lalu putri Madame Charpentier berbicara dengan suara tenang
dan jelas.
"'Tak ada gunanya berbohong, Ibu,' katanya. 'Lebih baik kita bersikap jujur pada tuan ini.
Kita memang bertemu lagi dengan Mr. Drebber.'
"'Demi Tuhan, Alice!' seru Madame Charpentier, sambil melontarkan tangannya ke atas dan
me-rosot di kursinya. 'Kau membunuh kakakmu.'
"'Arthur pasti lebih suka kita mengungkapkan yang sebenarnya,' jawab gadis itu tegas.
"'Sebaiknya kalian ceritakan semuanya sekarang,' tukasku. 'Informasi separo-separo lebih
buruk daripada tidak memberi informasi sama sekali. Lagi pula, kalian tidak tahu seberapa banyak
yang sudah kami ketahui.'
"'Alice, kau yang harus menanggung akibatnya!' seru Madame Charpentier menyesali
putrinya. Berpaling padaku, ia lalu berkata, 'Akan saya ceritakan semuanya, Sir. Saya mencemaskan
nasib anak laki-laki saya, namun itu bukan karena dia bersalah. Saya hanya takut Anda dan orangorang
lain menganggap dia terlibat dalam pembunuhan itu, padahal kenyataannya tidak demikian.
Sifat-sifat anak saya, latar belakangnya, pekerjaannya... semua membuktikan dia tak mungkin
melakukan kejahatan itu.'
"'Sebaiknya Anda berterus terang,' ujarku. Kalau putra Anda memang tak bersalah, dia tentu
tak akan ditangkap.'
"'Mungkin, Alice, lebih baik kautinggalkan kami berdua,' kata Madame Charpentier, dan
putrinya meninggalkan ruangan. 'Baiklah, Sir,' lanjut Madame Charpentier, 'saya sama sekali ridak
berniat menceritakan semua ini, tapi karena putri saya sudah menyinggungnya, saya tidak memiliki
pilihan lain. Akan saya ungkapkan seluruh kejadiannya tanpa melewatkan satu rincian pun.'
"'Itu tindakan yang paling bijak,' kataku.
"'Mr. Drebber sudah menginap di tempat kami selama hampir tiga minggu. Dia dan
sekretarisnya, Mr. Stangerson, sedang melakukan perjalanan keliling Eropa. Sebelum ke London,
mereka rupanya pergi ke Copenhagen... saya melihat label kota itu pada koper-koper mereka.
Stangerson pria yang pendiam dan tertutup, tapi bosnya, tidak enak bagi saya untuk mengatakannya,
jauh berbeda. Mr. Drebber orangnya kasar dan tak tahu sopan santun. Ketika tiba di sini, dia
mabuk berat, dan di hari-hari selanjutnya jarang kami melihatnya dalam keadaan sadar, baik siang
maupun malam. Sikapnya terhadap para pelayan wanita sangat tidak sopan, begitu pula terhadap putri saya Alice. Bukan satu-dua kali dia mengatakan hal-hal yang tak pantas kepada putri saya itu.
Untungnya, Alice terlalu polos untuk memahami ucapan-ucapan yang kurang ajar itu. Terakhir, dia
malah memeluk putri saya—tindakan yang begitu lancang sehingga sekretarisnya sendiri
menegurnya.'
"'Tapi kenapa Anda mendiamkan semua ini?' tanyaku. 'Anda kan bisa mengusir mereka.'
"Wajah Madame Charpentier memerah mendengar pertanyaanku itu. 'Sejak hari pertama
saya sudah ingin mengusir mereka,' akunya. 'Tapi saya tergoda oleh uang yang mereka bayarkan.
Satu pound sehari per orang... berarti empat belas pound seminggu, dan ini musim sepi. Saya
seorang janda, sementara putra saya yang di Angkatan Laut masih memerlukan biaya. Demi uang,
saya terpaksa menahan diri. Tapi tindakan Mr. Drebber yang terakhir itu sudah keterlaluan, dan saya
mengusirnya. Itu sebabnya dia pergi dari sini.'
"'Lalu?'
"'Hati saya terasa ringan sewaktu melihatnya pergi. Putra saya sedang cuti, tapi saya tidak
menceritakan masalah ini padanya. Dia gampang naik darah, dan dia sangat menyayangi adiknya.
Sayangnya, kelegaan saya tak berumur panjang. Kurang dari satu jam kemudian bel berbunyi, dan
Mr. Drebber datang lagi. Dia sangat bersemangat, dan jelas sangat mabuk. Dia memaksa masuk ke
dalam ruangan tempat saya dan Alice sedang duduk, dan dia berceloteh tidak jelas tentang
tertinggal kereta. Di depan mata saya, dia nekat mengajak Alice pergi bersamanya. 'Usiamu sudah
cukup," katanya, "dan tidak ada hukum yang melarangmu. Aku punya banyak uang. Jangan
pedulikan nenek tua ini, ikutlah denganku sekarang juga. Kau akan hidup seperti putri." Alice yang
malang begitu ketakutan hingga mengerut menjauhinya, tapi dia menangkap pergelangan tangan
Alice dan hendak menyeretnya ke pintu. Saya menjerit, dan pada saat itu putra saya Arthur masuk
ke dalam ruangan. Apa yang terjadi sesudah itu saya tidak tahu. Saya mendengar sumpah serapah
dan suara orang diseret. Saya terlalu takut untuk mengangkat kepala. Sewaktu akhirnya saya
menengadah, saya melihat Arthur berdiri di ambang pintu sambil membawa sebatang tongkat.
"Kurasa orang itu tidak akan mengganggu kita lagi," katanya tertawa. "Aku akan mengejarnya dan
melihat apa yang dilakukannya sekarang." Arthur mengambil topi dan berjalan ke luar. Keesokan
paginya, kami mendengar tentang kematian Mr. Drebber yang misterius.'
"Kisah ini dituturkan Madame Charpentier dengan banyak sela. Terkadang dia bicara begitu
pelan sehingga aku hampir-hampir tidak bisa mendengar kata-katanya. Tapi aku mencatatnya
dengan steno, jadi tidak mungkin ada kesalahan."
"Benar-benar menarik," kata Sherlock Holmes sambil menguap. "Apa yang terjadi
selanjutnya?"
"Sewaktu Madame Charpentier diam sejenak," lanjut sang detektif, "aku menyadari bahwa
seluruh kasus ini tergantung pada satu hal. Sambil menatapnya tajam dan lurus—hal yang menurut
pengalamanku sangat efektif terhadap wanita— kutanyakan pukul berapa putranya pulang.
"'Entahlah,' jawabnya.
"'Anda tidak tahu?'
"'Tidak, Arthur memiliki kunci rumah, dan dia masuk sendiri.'
"'Sesudah Anda tidur?'
"'Ya.'
"'Pukul berapa Anda tidur?'
"'Sekitar pukul sebelas.'
"'Jadi putra Anda pergi paling sedikit selama dua jam?'
"'Benar.'
"'Mungkin empat atau lima jam?'
"'Bisa saja.'
"'Apa yang dilakukannya selama itu?'
"'Saya tidak tahu,' jawab Madame Charpentier dengan gemetar.
"Semua sudah jelas. Letnan Charpentier terlibat dalam pembunuhan Mr. Drebber.
Kutanyakan di mana pemuda itu berada, dan bersama dua petugas, aku menangkapnya. Ketika aku
menyentuh bahunya sambil memperingatkan agar dia mengikuti kami tanpa keributan, pemuda itu
menjawab dengan berani, 'Kalian pasti menangkapku karena kematian si keparat Drebber itu!' Kami
belum mengatakan apa-apa tentang itu, jadi kata-katanya sangat mencurigakan."
"Sangat," kata Holmes setuju.
"Letnan Charpentier masih membawa tongkat vang menurut cerita ibunya, dibawanya ketika
mengikuti Drebber. Tongkat itu terbuat dari kayu ek dan cukup kokoh."
"Lalu, apa teorimu?"
"Menurutku, kejadiannya begini: Letnan Charpentier mengikuti Drebber hingga ke Brixton
Road. Di sana mereka bertengkar dan Charpentier memukul Drebber dengan tongkat, mungkin di
ulu hati, sehingga Drebber tewas tanpa meninggalkan luka. Karena malam itu hujan, jalanan sepi.
Charpentier dengan leluasa menyeret mayat korban ke rumah kosong. Mengenai lilin, cincin, darah,
dan tulisan di dinding, semua mungkin sekadar tipuan agar polisi melacak jejak yang salah."
"Bagus sekali!" Holmes memuji. "Sungguh, Gregson, kau sudah mengalami banyak
kemajuan. Kau akan menjadi detektif yang hebat."
"Aku memang bangga karena berhasil memecahkan kasus ini," jawab sang detektif. "Arthur
Charpentier sudah memberikan pernyataan. Katanya, dia mengikuti Drebber selama beberapa
waktu, tapi Drebber lalu sadar dirinya dibuntuti dan melarikan diri dengan taksi. Menurut pengakuan
Charpentier, setelah itu dia berjalan pulang, tapi kebetulan bertemu bekas teman sekapalnya.
Mereka berdua pergi berjalan-jalan cukup jauh. Sewaktu kami bertanya di mana temannya itu
tinggal, Charpentier tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Kupikir kasus ini sudah
selesai, Charpentierlah pembunuhnya, semua faktanya cocok. Aku benar-benar geli kalau teringat
pada Lestrade yang melacak jejak yang salah. Aku yakin dia tidak berhasil mendapatkan banyak
petunjuk di sana. Astaga, ini dia orangnya!"
Memang, Lestrade-lah yang menaiki tangga
sewaktu kami bercakap-cakap, dan sekarang ia memasuki
ruangan. Sikapnya yang biasanya bersemangat dan penuh
percaya diri sekarang memudar. Wajahnya tampak
gelisah dan cemas, sementara pakaiannya kusut masai. Ia
jelas datang untuk berkonsultasi dengan Sherlock
Holmes, karena begitu melihat kehadiran rekannya, ia
tampak malu dan jengkel. Ia berdiri di tengah-tengah
ruangan, mempermainkan topinya dengan gugup dan
bimbang, sepertinya ia tidak yakin harus berbuat apa.
"Kasus ini sungguh luar biasa...," katanya
akhirnya, "kasus yang sama sekali tak bisa di-pahami."
"Ah, begitu menurutmu, Mr. Lestrade!" seru
Gregson penuh kemenangan. "Sudah kuduga kau akan
menyimpulkan begitu. Kau berhasil menemukan
sekretaris itu, Mr. Joseph Stangerson?"
"Sang sekretaris... Mr. Joseph Stangerson... mati dibunuh di Halliday's Private Hotel sekitar
pukul enam tadi pagi," jawab Lestrade muram.
Salam Sherlockian.
0 komentar:
Posting Komentar