1. Penelusuran Benang Merah (Study in Scarlet)
1.1 Bagian I – Salinan Catatan Harian Dokter John H. Watson, Pensiunan Departemen Medis Angakatan Darat
1.1.4 Bab IV – Cerita John Rance
Saat kami meninggalkan Lauriston Gardens No. 3, waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Sherlock Holmes mengajakku ke kantor telegram terdekat dan mengirimkan sebuah telegram panjang. Setelah itu ia memanggil taksi, memerintahkan kusirnya untuk membawa kami ke alamat yang diberikan Lestrade.
"Tak ada yang bisa mengalahkan bukti dari tangan pertama," kata Holmes. "Sebenarnya kesimpulanku
sudah bulat mengenai kasus ini, tapi mungkin ada baiknya kita mempelajari semua
yang bisa dipelajari."
"Kau membuatku kagum, Holmes," kataku. "Benarkah kau sungguh-sungguh yakin tentang
semua rincian yang kauberitahukan tadi?"
"Yakin sekali," jawab Holmes. "Begini, hal pertama yang kulihat sewaktu tiba di sana adalah
dua jalur bekas roda kereta yang meninggalkan jejak cukup dalam di tepi jalan. Hujan sudah
seminggu tidak turun, jadi jejak roda kereta itu pasti baru timbul semalam. Aku juga menemukan
jejak-jejak ladam kuda, yang satu lebih jelas dari tiga lainnya, menunjukkan bahwa ladam itu masih
baru. Karena jejak kereta itu timbul sesudah hujan turun semalam, dan keretanya tadi pagi tidak ada
di sana—Gregson yang mengatakannya—jelas kereta itu datang pada malam hari. Berarti, kereta
itulah yang membawa kedua orang yang terlibat dalam misteri ini ke rumah No 3."
"Tampaknya cukup sederhana," kataku, "tapi bagaimana dengan tinggi badan si pembunuh?"
Tinggi seseorang, dalam sembilan dari sepuluh bisa diperkirakan dari jarak langkahnya.
Perhitungannya cukup mudah, tapi aku tak mau membuatmu bosan dengan angka-angka. Pokoknya.
aku menemukan jejak-jejak orang ini di tanah liat di luar rumah dan pada debu di dalam rumah.
Lalu aku menghitung tingginya dengan caraku sendiri. Kebetulan, aku menemukan hal lain untuk
mengecek hitunganku. Pada saat seseorang menulis di dinding, nalurinya menyebabkan ia menulis
di atas ketinggian matanya sendiri. Nah, jarak tulisan itu dari lantai adalah 180 sentimeter lebih
sedikit. Mudah, bukan?"
"Dan usianya?" tanyaku.
"Well, kalau orang bisa melangkah sejauh 135 sentimeter tanpa susah payah, tak mungkin
usianya lebih dari empat puluh. Ada genangan lumpur di taman tempat si pembunuh dan korban
pernah melintas. Korban yang mengenakan sepatu bot kulit mengitari genangan itu, tapi si
pembunuh yang mengenakan sepatu berujung persegi melompatinya. Jejak mereka tampak jelas, tidak ada misteri dalam hal ini. Aku hanya menerapkan beberapa rumus pengamatan dan deduksi
yang kutuliskan dalam artikel majalah. Ada lagi yang membingungkanmu?"
"Kuku jari dan Trichinopoly," kataku.
"Tulisan di dinding dibuat dengan jari telunjuk orang itu yang dicelupkan ke dalam darah.
Lewat kaca pembesar kulihat lapisan semen di dindingnya agak tergores. Ini berarti orang itu
berkuku panjang. Debu yang kukumpulkan dari lantai adalah abu cerutu Trichinopoly. Aku secara
khusus pernah mempelajari abu-abu cerutu, malah aku pernah menulis artikel tentang itu. Aku
mampu membedakan abu cerutu atau tembakau bermerek apa pun hanya dengan sekali lihat. Dalam
hal-hal seperti inilah detektif seperti aku berbeda dengan detektif biasa seperti Gregson dan
Lestrade."
"Dan soal wajah berjambang?" tanyaku.
"Ah, itu tebakan yang berani, sekalipun aku tidak ragu akan kebenarannya. Kau tidak boleh
menanyakan itu sekarang."
Aku mengusap alis. "Aku jadi pusing," kataku. "Semakin dipikir, kasus ini terasa semakin
misterius. Bagaimana kedua pria ini—kalau memang mereka berdua pria—bisa masuk ke rumah
kosong? Bagaimana dengan kusir yang mengantar? Bagaimana seseorang bisa memaksa orang lain
menelan racun? Dari mana darahnya? Apa tujuan pembunuhan ini, karena ini jelas bukan
perampokan? Bagaimana bisa ada cincin wanita di sana? Di atas semua itu, kenapa orang kedua
menuliskan kata Jerman RACHE sebelum pergi? Kuakui bahwa aku tidak mengerti bagaimana kita
bisa menyatukan seluruh fakta ini." Temanku tersenyum menyetujui.
"Kau sudah menyimpulkan kesulitan-kesulitan situasi ini dengan cukup ringkas dan baik,"
katanya. "Memang masih ada banyak ketidakjelasan, meskipun aku sudah membulatkan pikiran
tentang fakta-fakta utamanya. Sedang mengenai penemuan Lestrade yang malang, itu hanya
pengalih perhatian agar polisi melacak jejak yang salah. Mungkin si pembunuh ingin memberikan
indikasi soal keterlibatan kaum sosialis Jerman dan organisasi rahasia. Tapi jelas kata itu tak ditulis
oleh orang Jerman. Huruf A-nya, kalau kauperhatikan, sengaja ditulis agar mirip dengan gaya
Jerman, padahal orang Jerman sendiri tidak menuliskannya sampai begitu. Ya, kita boleh yakin
bahwa penulisnya bukan orang Jerman, melainkan seorang peniru yang ceroboh dan berlebihan.
"Aku tidak akan bercerita lebih jauh mengenai kasus ini, Dokter. Kau tahu seorang pesulap
tidak akan dihargai sesudah menjelaskan tipuannya, dan kalau kutunjukkan terlalu banyak metode
kerjaku kepadamu, kau akan menyimpulkan bahwa aku orang yang sangat biasa."
"Aku tidak akan berpikir begitu," kataku. "Kau orang pertama yang membuat ilmu deduksi begitu gamblang seperti ilmu eksakta."
Wajah Sherlock Holmes memerah mendengar pujianku. Kuperhatikan ia memang sangat
peka terhadap pujian atas kemampuannya sebagaimana gadis-gadis atas kecantikan mereka.
"Akan kuberitahukan satu hal lain," ujar Holmes. "Korban dan pelaku datang dengan
menggunakan kereta yang sama. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak bersama-sama dengan
sikap akrab—mungkin malah bergandengan tangan. Setelah tiba di dalam, mereka mondar-mandir
dalam ruangan—atau tepatnya, korban berdiri diam sementara pelaku mondar-mandir. Aku bisa
membaca semuanya dari jejak sepatu mereka. Dari cara berjalannya, kulihat pelaku makin lama
makin bersemangat. Langkah kakinya makin lama makin lebar. Ia mondar-mandir sambil terus
berbicara sampai amarahnya meledak dan pembunuhan itu terjadi. Nah, sudah kuceritakan semua
yang kuketahui, sedangkan sisanya hanyalah pelengkap. Dengan landasan kerja yang bagus itu,
mari kita bergegas, karena aku ingin menonton konser Norman Neruda sore ini."
Percakapan tersebut berlangsung saat taksi yang kami tumpangi tengah melaju melintasi
serangkaian lorong serta jalan yang remang-remang dan suram. Di jalan yang paling gelap, kusir
kami tiba-tiba menghentikan kereta. "Audley Court di sebelah sana," katanya, menunjuk celah
sempit di jajaran bata berwarna gelap. "Akan kutunggu kalian di sini."
Audley Court bukanlah tempat yang menarik. Lorong
sempit itu membawa kami ke lapangan kecil yang
dikelilingi perumahan kumuh. Kami melewati
segerombolan anak yang kotor dan dekil, melewati jajaran
seprai yang telah luntur, hingga tiba di Nomor 46. Pintu
rumah itu dihiasi sekeping kecil kuningan dengan ukiran
nama Rance. Saat menanyakannya, kami diberitahu banwa
petugas tersebut sedang tidur, dan kami dipersilahkan
menunggu di ruang tamu kecil.
Rance muncul tak lama kemudian, tampak jengkel
karena tidurnya terganggu. "Aku sudah menyampaikan
laporanku di kantor," katanya.
Holmes mengambil sekeping koin emas dari sakunya
dan memutar-mutarnya. "Kami pikir, sebaiknya kami
mendengarnya secara langsung darimu."
"Dengan senang hati akan kuceritakan semua yang kuketahui," kata Rance, matanya terus menatap uang emas itu.
"Ceritakan saja bagaimana kejadiannya.
"Rance duduk di sofa dan mengerutkan kening. seakan-akan membulatkan tekad untuk tidak
melupakan apa pun dalam ceritanya.
"Akan kuceritakan dari awal," ujarnya. "Tugasku dimulai pukul sepuluh malam dan berakhir
pukul enam pagi. Pada pukul sebelas ada perkelahian di White Hart, bar yang biasanya cukup
tenang di kawasan tempatku bertugas. Pada pukul satu hujan turun, dan aku bertemu Harry
Murcher. Dia bertugas di kawasan Holland Grove dan kami bercakap-cakap di sudut Henrietta
Street. Mungkin sekitar pukul dua, kuputuskan untuk berkeliling dan melihat situasi di Brixton
Road. Tempat itu sangat kotor dan sunyi. Tidak seorang pun kutemui sepanjang jalan ke sana, walau
ada satu-dua kereta yang melewatiku. Aku tengah berjalan sambil memikirkan betapa enaknya
segelas gin hangat, sewaktu tiba-tiba kulihat cahaya dari jendela rumah No. 3. Nah. aku tahu bahwa
kedua rumah di Lauriston Gardens itu kosong karena pemiliknya tidak melakukan apa-apa setelah
penyewa terakhir meninggal karena tifus. Oleh sebab itu aku sangat terkejut sewaktu melihat
cahaya di jendelanya, dan menduga ada yang tidak beres. Ketika tiba di depan pintu..."
"Kau berhenti, lalu kembali ke gerbang taman", sela temanku. "Kenapa kau berbuat begitu?"
Rance terlonjak, ditatapnya Holmes dengan terpana.
"Itu benar, Sir," katanya, "dari mana Anda bisa tahu? Aku berbalik karena melihat suasana
yang begitu sepi, kupikir lebih baik kalau aku mengajak teman. Aku bukan penakut, tapi bagaimana
kalau hantu orang yang meninggal karena tipus itu datang? Pikiran itu membuatku merinding dan
aku kembali ke gerbang untuk melihat apa Murcher masih di dekat situ. Ternyata dia tidak ada,
orang lain juga tidak."
"Tak ada seorang pun di jalan?"
"Tidak, Sir, bahkan anjing pun tidak ada. Terpaksa aku memberanikan diri pergi ke rumah
itu dan membuka pintunya. Di dalam sangat tenang, jadi aku masuk ke ruangan tempat cahaya itu
berasal. Ada lilin yang menyala di rak perapian—lilin merah—dan berkat cahayanya aku melihat..."
"Ya, aku tahu semua yang kaulihat. Kau mondar-mandir dalam ruangan itu beberapa kali,
kau berlutut di samping mayat korban, lalu kau melewatinya dan memeriksa pintu dapur..."
John Rance melompat bangkit, ekspresi wajahnya ketakutan, sementara matanya
memandang curiga. "Anda bersembunyi di mana hingga bisa melihat semuanya?" serunya. "Anda
tahu lebih banyak dari yang seharusnya."
Holmes tertawa dan melemparkan kartu namanya ke atas meja. "Jangan menangkapku dengan tuduhan pembunuhan," gelaknya. "Aku salah satu pemburu dan bukan rubahnya... tanyakan
saja pada Mr. Gregson dan Mr. Lestrade. Tapi, lanjutkan. Apa yang kaulakukan sesudah itu?"
Masih kebingungan, Rance duduk kembali. "Aku kembali ke gerbang dan meniup peluitku.
Murcher dan dua petugas lain seketika datang ke sana."
"Apa jalannya masih kosong waktu itu?"
"Well, bisa dikatakan begitu..."
"Maksudmu?"
Ekspresi petugas tersebut berubah, ia tersenyum
lebar. "Ada orang mabuk di sana, mabuk berat. Dia
bersandar di pagar taman sambil sekuat tenaga
menyanyikan New-fangled Banner-nya Columbine, atau
lagu yang mirip itu. Dia tidak bisa berdiri, apalagi
membantu kami."
"Kau bisa memberi gambaran tentang orang itu?"
tanya Holmes.
Rance tampak agak jengkel mendengar
permintaan yang menurutnya tak ada hubungannya itu.
"Pokoknya dia mabuk berat, jauh lebih parah daripada
pemabuk-pemabuk yang biasa kutemui. Andai saat itu
kami tak disibukkan oleh misteri tersebut, dia pasti sudah
kami tangkap."
"Wajahnya... pakaiannya... apa kau sempat
memperhatikan?" sela Holmes dengan tidak sabar.
"Rasanya aku sempat memperhatikan, karena aku terpaksa memapahnya... aku dan Murcher
bersama-sama. Dia bertubuh jangkung, dengan wajah kemerahan, berjanggut..."
"Cukup," tukas Holmes. "Apa yang terjadi padanya?"
"Kami kan sedang sibuk, mana ada waktu untuk memperhatikan dirinya," jawab Rance
dengan nada jengkel. "Kurasa dia berhasil tiba di rumahnya dengan selamat."
"Bagaimana pakaiannya?"
"Mantel panjang cokelat."
"Dia membawa cambuk?"
"Cambuk... tidak."
Dia pasti meninggalkannya," gumam temanku. "Kau tidak kebetulan melihat kereta atau
mendengar bunyinya sesudah itu?"
"Tidak."
"Ini untukmu," kata Holmes, memberikan uang emas yang dipegangnya. Ia bangkit dan
mengambil topinya. "Sayang sekali, Rance, kau tidak akan pernah naik pangkat. Kepalamu itu
seharusnya digunakan, bukan hanya sebagai hiasan. Sebetulnya kau bisa mendapatkan pangkat
sersan semalam. Orang yang kaupapah itu adalah kunci misteri semalam, dan dialah yang kami cari.
Tapi tak ada gunanya meributkannya sekarang. Ayo, Dokter."
Kami menuju ke taksi bersama-sama, meninggalkan informan kami dalam keadaan tertegun
dan jelas-jelas tidak nyaman.
"Orang tolol!" kata Holmes dengan pahit, saat kami menempuh perjalanan pulang. "Pikirkan
saja, mendapat keberuntungan sebesar itu, dan tidak meraihnya!"
"Aku masih bingung. Memang benar bahwa deskripsi pemabuk itu cocok dengan
gagasanmu tentang pihak kedua dalam misteri ini. Tapi untuk apa dia kembali ke rumah itu? Bukan
begitu cara penjahat!"
"Cincinnya, Sobat, cincinnya... dia kembali untuk cincin itu. Kalau tidak ada cara lain untuk
menangkapnya, kita bisa memancingnya dengan cincin itu. Aku akan menangkapnya, Dokter—aku
pasti bisa menangkapnya. Aku harus berterima kasih padamu. Kalau bukan karena doronganmu,
aku mungkin tidak akan pergi, dan dengan begitu melewatkan pelajaran terbaik yang pernah
kutemui. Penelusuran benang merah, eh? Bagaimana kalau kita gunakan nama itu untuk
penyelidikan kita? Memang ada benang merah pembunuhan dalam kumparan kehidupan yang tanpa
warna. Tugas kitalah untuk melusurinya, menguraikannya, dan meluruskannya. Sekarang mari kita
makan siang, sesudah itu menyaksikan Norman Neruda. Serangan dan bungkukan badannya luar
biasa. Apa judul karya Chopin yang dimainkannya dengan begitu mengagumkan itu? Tra-la-la-liralira-lay."
Sambil menyandar di kereta, anjing pemburu amatir ini berceloteh bagai burung gagak,
sementara aku merenungkan keunikan otak manusia.
0 komentar:
Posting Komentar