1. Empat Pemburu Harta (The Sign Of Four)
1.4 Kisah Pria Botak
KAMI mengikuti orang India tersebut menyusuri lorong yang kotor dan biasa, remang-remang, dengan perabotan yang payah, hingga ia tiba di depan sebuah pintu di sebelah kanan. Ia membuka pintu itu, dan di tengah-tengah ruangan berdiri seorang pria kecil dengan kepala sangat tinggi, dengan beberapa helai rambut kemerahan di tepi-tepinya, dan kulit kepala mulus mengilat yang mencuat bagai puncak pegunungan dari sela-sela pepohonan cemara. Ia mengusap-usap tangannya sambil berdiri, dan ekspresinya terus-menerus berubah—kadang tersenyum, kadang merengut, tapi tak pernah sesaat pun diam. Bibirnya tebal, dan giginya yang kekuningan tidak teratur berusaha ditutupinya dengan terusmenerus mengusap bagian bawah wajahnya. Sekalipun kebotakannya sangat mencolok, ia mengesankan seorang pria yang masih muda. Sebenarnya usianya memang baru tiga puluh tahun.
"Hamba Anda, Miss Morstan," katanya berulang-ulang dengan suara tinggi melengking.
"Hamba kalian, Tuan-tuan. Silakan masuk ke tempat perlindungan kecilku. Tempat yang kecil, Nona,
tapi dilengkapi sesuai seleraku. Sebuah oase seni di padang pasir London Selatan yang gersang."
Kami semua terpesona melihat penampilan apartemen yang kami masuki itu. Di rumah yang
menyedihkan ini, apartemen tersebut tampak bagai sebutir berlian kelas satu di latar belakang
kuningan. Tirai-tirai dan gorden termewah dan paling mengilat menghiasi dinding-dindingnya,
digulung di sana-sini untuk menampilkan lukisan mewah atau vas Oriental. Karpetnya berwarna merah
tua dan hitam, begitu lembut dan tebal, sehingga kaki seperti terbenam nyaman di sana, bagaikan
sebidang lumut. Dua buah kulit harimau besar dibentangkan untuk menambah kesan kemewahan
Timur, sebagaimana sebuah hookah—pipa India—besar yang berdiri di atas sehelai matras di sudut.
Sebuah lampu berbentuk merpati perak menjuntai pada kawat-kawat keemasan yang hampir tidak
kasatmata di tengah-tengah ruangan. Dari sana menebar bau harum samar.
"Mr. Thaddeus Sholto," kata pria kecil tersebut, sambil terus bergerak-gerak dan tersenyum. "Itu
namaku. Anda Miss Morstan tentunya. Dan tuan-tuan ini..."
"Ini Mr. Sherlock Holmes, dan ini Dr. Watson."
"Seorang dokter, eh?" seru pria kecil tersebut, sangat bersemangat. "Anda membawa stetoskop?
Bisa aku minta tolong—apa Anda tidak keberatan? Aku mendapat kesulitan dengan mitral valve-ku.
Aorta-nya mungkin masih bagus, tapi aku membutuhkan pendapat Anda mengenai mitral-nya."
Kudengarkan detak jantungnya, sesuai permintaannya, tapi tak mampu menemukan apa pun
yang tidak beres, kecuali kalau ia tengah tercekam ketakutan, karena ia menggigil dari ujung kaki
hingga ke ujung rambut.
"Tampaknya normal," kataku. "Anda tidak perlu gelisah."
"Harap maafkan kegelisahanku, Miss Morstan," katanya dengan ringan. "Aku sangat menderita,
dan sudah lama aku mencurigai katup itu. Aku sangat senang mendengar bahwa kecurigaanku ternyata
tidak perlu. Seandainya ayah Anda menahan diri untuk tidak terlalu membebani jantungnya, dia pasti
masih hidup sekarang."
Aku hampir saja menghantam pria tersebut telak di wajahnya, karena begitu panas mendengar
komentar sedingin itu terhadap masalah sepeka ini. Miss Morstan duduk, dan wajahnya pucat pasi
hingga ke bibir.
"Aku tahu dalam hati bahwa dia sudah meninggal," katanya.
"Aku bisa memberitahukan segalanya," kata pria tersebut, "dan, lebih dari itu, aku bisa
memberikan keadilan, dan itu akan kulakukan, tak peduli apa kata Brother Bartholomew. Aku senang
sekali Anda membawa teman, bukan hanya sebagai pendamping tapi juga sebagai saksi akan apa yang
hendak kukatakan dan kulakukan. Kita bertiga bisa menunjukkan ketegasan kepada Brother
Bartholomew. Tapi sebaiknya kita tidak mengikutsertakan orang luar—tidak perlu polisi atau pejabat.
Kita bisa membereskan segalanya dengan memuaskan di antara kita sendiri, tanpa ada campur tangan
pihak lain. Tidak ada yang lebih menjengkelkan Brother Bartholomew selain publisitas."
Ia duduk di sebuah kursi pendek dan mengerdipkan mata birunya yang lemah dan berair.
"Bagiku," kata Holmes, "apa pun yang Anda katakan tidak akan menyebar lebih jauh."
Aku mengangguk untuk menyatakan persetujuanku.
"Itu bagus! Itu bagus!" kata pria tersebut. "Boleh kutawarkan segelas Chianti, Miss Morstan?
Atau Tokay? Aku tidak menyimpan anggur yang lain. Boleh kubuka sebotol? Tidak? Well, kalau begitu, aku yakin kalian tidak keberatan dengan asap tembakau, dengan bau balsam tembakau Timur. Aku agak
gugup, dan menurutku hookah itu merupakan obat penenang yang sangat berharga."
Ia menyiapkan pipanya, lalu menikmati asapnya melalui air mawar yang menggelegak dengan
riangnya. Kami semua duduk membentuk setengah lingkaran, dengan kepala terjulur dan dagu
menempel di tangan, sementara pria kecil yang aneh dan gelisah tersebut, dengan kepalanya yang
tinggi mengilat, mengisap pipa dengan tidak nyaman di tengah-tengah.
"Sewaktu pertama kali membulatkan tekad untuk berkomunikasi dengan Anda," katanya, "aku
bisa saja memberikan alamatku, tapi aku takut Anda tidak akan mengacuhkan permintaanku dan akan
membawa orang-orang yang tidak menyenangkan bersama Anda. Oleh karena itu, aku mengatur
sebegitu rupa supaya anak buahku William bisa melihat Anda lebih dulu. Aku percaya sepenuhnya
bahwa dia bisa menjaga rahasia, dan dia sudah mendapat perintah, bahwa kalau dia tidak merasa puas,
dia tak perlu melanjutkan tindakannya. Harap maafkan tindakan berjaga-jaga itu, tapi aku orang yang
agak tertutup, dan kalau boleh kukatakan menurutku polisi sangatlah tidak menyenangkan. Aku
memiliki kecenderungan alamiah untuk menjauhi segala bentuk kekasaran. Aku jarang sekali
berhubungan dengan orang-orang yang kasar. Aku hidup, sebagaimana kalian lihat, dengan sedikit
keanggunan di sekitarku. Aku menyebut diriku pelindung seni. Itu kelemahanku. Pemandangan di sini
benar-benar sebuah Corot, dan sekalipun seorang pakar seni mungkin meragukan Salvator Rosa itu,
paling tidak mereka tidak akan meragukan Bouguereau. Aku agak terpengaruh sekolah modern
Prancis."
"Maafkan aku, Mr. Sholto," kata Miss Morstan, "tapi aku datang kemari sesuai permintaan
Anda untuk mengetahui sesuatu yang ingin Anda katakan padaku. Tapi sekarang sudah sangat larut,
dan kurasa sebaiknya wawancara ini singkat saja."
"Sebaiknya justru harus agak lama," jawab Thaddeus, "karena kita jelas harus pergi ke Norwood
untuk menemui Brother Bartholomew. Kita semua harus pergi dan berusaha membujuk Brother
Bartholomew. Dia sangat marah padaku karena melakukan apa yang menurutku benar. Semalam aku
bertengkar cukup hebat dengannya. Kalian tak bisa membayangkan betapa buruknya dia kalau sedang
marah."
"Kalau kita harus ke Norwood, mungkin sebaiknya Anda ceritakan sekarang juga alasannya," kataku.
Thaddeus tertawa terbahak-bahak hingga telinganya memerah.
"Sulit," serunya. "Aku tidak tahu apa yang akan
dikatakannya kalau aku mengajak kalian dengan cara tibatiba
seperti itu. Tidak, aku harus mempersiapkan kalian
dengan menunjukkan bagaimana posisi kita masingmasing.
Pertama-tama, aku harus memberitahu kalian
bahwa ada beberapa hal dalam ceritaku yang tidak
kuketahui sendiri. Aku hanya bisa menyampaikan faktafaktanya
sebagaimana yang kuketahui.
"Ayahku, seperti mungkin sudah kalian duga, adalah
Mayor John Sholto, mantan Angkatan Darat India. Dia
pensiun sekitar sebelas tahun yang lalu, dan tinggal di
Pondicherry Lodge di Upper Norwood. Dia cukup berhasil
di India, dan pulang membawa sejumlah besar uang,
sejumlah besar koleksi benda-benda berharga, dan
sekelompok pelayan pribumi. Dengan semua kelebihan ini,
dia membeli sebuah rumah, dan tinggal dalam kemewahan besar. Saudara kembarku, Bartholomew,
dan aku adalah satu-satunya anaknya.
"Aku masih ingat dengan baik keributan yang disebabkan oleh menghilangnya Kapten Morstan.
Kami membaca rinciannya di koran. Karena tahu bahwa dia teman Ayah, kami mendiskusikannya
dengan bebas di hadapannya. Dia biasanya turut terlibat dalam spekulasi kami tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Tak pernah kami menduga bahwa dia menyimpan seluruh rahasia mengenai
kejadian itu, bahwa hanya dia seorang yang mengetahui nasib Arthur Morstan.
"Tapi kami tahu bahwa ada misteri, ada bahaya positif, yang menyelimuti ayah kami. Dia sangat
takut keluar seorang diri, dan dia selalu mempekerjakan dua petinju bayaran untuk pura-pura menjadi
portir di Pondicherry Lodge. William, yang mengantar kalian malam ini, adalah salah satu di antaranya.
Dia mantan juara kelas ringan se-Inggris. Ayah kami tak pernah memberitahukan apa yang ditakutinya, tapi dia paling takut terhadap pria berkaki kayu. Pernah dia benar-benar menembakkan revolvernya
pada seorang pria berkaki kayu, yang terbukti seorang pedagang tidak berbahaya yang tengah
berkeliling mencari pesanan. Kami harus membayar cukup besar untuk menutupi kejadian itu.
Saudaraku dan aku dulu menganggap hal itu hanya sebagai keeksentrikan Ayah, tapi kejadian-kejadian
yang berlangsung sejak itu menyebabkan kami berubah pikiran.
"Pada awal tahun 1882, ayahku menerima surat dari India yang menyebabkan dia menderita
shock hebat. Dia hampir jatuh pingsan di meja makan setelah membacanya, dan mulai saat itu dia jatuh
sakit hingga hari kematiannya. Kami tak pernah tahu apa yang tertulis dalam surat itu, tapi aku bisa
melihat bahwa surat tersebut singkat dan ditulis tangan. Ayah sudah bertahun-tahun menderita
pembesaran limpa, tapi sekarang kondisinya memburuk dengan cepat, dan menjelang akhir April kami
diberitahu bahwa dia sudah tidak tertolong lagi. Dan bahwa dia ingin berbicara untuk terakhir kalinya
dengan kami.
"Sewaktu kami memasuki kamarnya, dia telah disandarkan ke bantal dan bernapas dengan
berat. Dia menyuruh kami mengunci pintu dan mendekat ke sampingnya di kedua sisi ranjang. Lalu,
sambil mencengkeram tangan kami dia menyampaikan pernyataan yang luar biasa pada kami, dengan
suara yang pecah akibat emosi dan kesakitan. Akan kucoba menyampaikan pada kalian, apa yang
dikatakannya.
"'Hanya ada satu hal yang membebani pikiranku pada saat-saat segenting ini,' katanya, 'yaitu
perlakuanku terhadap putri Morstan yang malang. Keserakahan terkutuk yang merupakan dosa
terbesarku sepanjang hidup sudah menghalanginya mendapatkan harta karun yang separuhnya
seharusnya menjadi bagiannya. Padahal aku tidak menggunakan harta itu—sungguh membabi buta dan
tolol keangkuhanku. Perasaan memiliki saja sudah begitu hebat, sehingga aku tidak tahan memikirkan
harus membaginya. Lihat guci berbibir mutiara di samping botol itu. Aku tak bisa berpisah dengannya,
sekalipun aku sudah merancang cara untuk mengirimkannya kepada putri Morstan. Kalian, putraputraku,
harus memberikan bagian yang adil dari harta karun Agra. Tapi jangan mengirimkan apa pun
—bahkan guci itu—sebelum aku meninggal. Bagaimanapun, ada orang-orang yang pernah melakukan
kesalahan seburuk ini dan berhasil memperbaikinya.
"'Akan kuceritakan bagaimana Morstan tewas,' lanjutnya. 'Dia sudah bertahun-tahun menderita
lemah jantung, tapi dia menutupinya dari semua orang. Hanya aku yang mengetahuinya. Sewaktu di India, dia dan aku, melalui serangkaian situasi yang luar biasa, berhasil mendapatkan harta karun yang
tak ternilai. Aku membawanya ke Inggris, dan pada malam kedatangan Morstan, dia langsung kemari
untuk meminta bagiannya. Dia berjalan kaki dari stasiun dan diterima oleh Lai Chowdar yang setia,
yang sekarang telah meninggal. Morstan dan aku berbeda pendapat mengenai pembagian harta itu, dan
kami pun bertengkar. Morstan melompat bangkit dari kursinya karena marah, namun tiba-tiba dia
menekan sisi tubuhnya, wajahnya berubah kelabu pucat, dan dia jatuh ke belakang, kepalanya terantuk
sudut peti harta. Sewaktu aku membungkuk di atasnya, kudapati dia telah meninggal, dan aku sangat
ketakutan.
"'Aku duduk kebingungan... lama, bertanya-tanya apa yang harus kulakukan. Dorongan hatiku
yang pertama, tentu saja, meminta bantuan. Tapi aku sadar ada kemungkinan aku akan dituduh sebagai
pembunuhnya. Kematiannya pada saat pertengkaran kami, dan luka di kepalanya, akan memperburuk
situasiku. Sekali lagi, interogasi resmi tidak akan bisa dilakukan tanpa mengungkap fakta-fakta
mengenai harta karun itu, padahal aku sangat ingin merahasiakannya. Morstan sudah memberitahukan
padaku bahwa tak seorang pun tahu ke mana dia pergi. Tampaknya tak perlu ada orang lain yang tahu.
"'Ketika aku masih mempertimbangkan masalah itu, kulihat pelayanku, Lai Chowdar, di
ambang pintu. Dia menyelinap masuk dan mengunci pintunya. "Jangan takut, Sahib," katanya, "tak
perlu ada yang tahu bahwa Anda sudah membunuhnya. Kita sembunyikan saja mayatnya, dan siapa
yang bisa lebih bijaksana lagi?" "Aku tidak membunuhnya," kataku. Lai Chowdar menggeleng dan
tersenyum. "Aku mendengar semuanya, Sahib," katanya. "Aku mendengar pertengkaran kalian, dan
aku mendengar pukulan itu. Tapi mulutku tertutup rapat. Semua orang lainnya sudah tidur di rumah ini.
Ayo kita singkirkan mayatnya." Hal itu sudah cukup bagiku untuk mengambil keputusan. Kalau
pelayanku sendiri tidak bisa mempercayai bahwa aku tidak bersalah, bagaimana aku bisa berharap
untuk meyakinkan dua belas pedagang bodoh di kotak juri? Lai Chowdar dan aku menyingkirkan
mayatnya malam itu, dan dalam beberapa hari koran-koran London dipenuhi berita tentang
menghilangnya Kapten Morstan secara misterius.
"'Dari apa yang kusampaikan ini, kalian tentunya menyadari bahwa aku tak bisa disalahkan atas
masalah itu. Kesalahanku hanyalah pada fakta bahwa kami menyembunyikan bukan hanya mayatnya,
tapi juga harta karunnya, dan aku juga menyimpan bagian Morstan bersama-sama dengan bagianku.
Karena itu, kuharap kalian menggantinya. Dekatkan telinga kalian ke mulutku. Harta karunnya disemhunyikan di...'
"Pada saat itu ekspresinya berubah hebat, matanya menatap liar, rahangnya ternganga, dan dia
berteriak-teriak dengan suara yang tidak akan pernah kulupakan, 'Singkirkan dia! Demi Kristus, jangan
sampai dia masuk!' Kami berdua berpaling menatap jendela di belakang kami, ke mana pandangannya
terpaku. Ada seseorang tengah memandang kami dari dalam kegelapan. Kami bisa melihat hidungnya
yang memutih karena ditempelkan di kaca. Pria itu berjanggut, dengan wajah berbulu, mata liar yang
kejam dan ekspresi jahat yang amat sangat. Saudaraku dan aku bergegas mendekati jendela, tapi pria
itu sudah pergi. Sewaktu kami kembali mendekati Ayah, kepalanya telah terkulai dan jantungnya tidak
lagi berdetak.
"Kami mencari-cari di kebun malam itu, tapi tidak menemukan tanda-tanda si penyusup.
Namun tepat di bawah jendela kami menemukan satu jejak yang terlihat jelas di petak bunga. Kalau
bukan karena jejak itu, kami mungkin akan mengira imajinasi kamilah yang telah menciptakan wajah
menyeramkan itu. Tapi, tak lama kemudian, kami mendapat bukti lain yang lebih mencolok bahwa
memang ada agen-agen rahasia yang bekerja di sekitar kami. Jendela kamar ayahku ditemukan terbuka
di pagi hari, lemari dan kotak-kotaknya sudah digeledah, dan di peti ayahku ditempelkan sepotong
kertas bertuliskan 'Tanda empat'. Apa artinya atau siapa tamu misterius kami, kami tak pernah
mengetahuinya. Sepanjang yang bisa kami perkirakan, tak satu pun properti ayahku yang dicuri, walau
segala sesuatunya sudah diaduk-aduk. Wajar saja kalau saudaraku dan aku mengaitkan kejadian aneh
ini dengan ketakutan yang menghantui ayahku seumur hidupnya, tapi hal itu masih merupakan misteri
sepenuhnya bagi kami."
Pria kecil rersebut berhenti untuk menyulut kembali hookah-nya dan memusatkan perhatiannya
ke sana selama beberapa saat. Kami semua duduk diam meresapi ceritanya yang luar biasa. Pada saat
disebutkan tentang kematian ayahnya, Miss Morstan berubah pucat pasi, dan sesaat aku khawatir ia
akan jatuh pingsan. Tapi ia berhasil bertahan, setelah menenggak segelas air yang kutuangkan dari
sebuah guci Venezia di meja samping. Sherlock Holmes menyandar di kursinya dengan ekspresi
menerawang, kelopak matanya hampir menutupi matanya yang berkilau-kilau. Saat melirik ke arahnya,
aku jadi berpikir betapa tadi ia mengeluh dengan pahit akan kedataran hidup ini. Akhirnya ada masalah
yang akan menguras tenaganya habis-habisan. Mr. Thaddeus Sholto memandang kami bergantian
dengan kebanggaan yang nyata atas pengaruh ceritanya, lalu melanjutkan sambil mengisap pipanya yang terlalu besar.
"Saudaraku dan aku," katanya, "sebagaimana mungkin sudah kalian bayangkan, sangat
bersemangat mengenai harta karun yang dibicarakan ayahku. Selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan kami menggali dan meneliti setiap bagian kebun, tanpa menemukan tanda-tanda
keberadaan harta itu. Sungguh menjengkelkan kalau memikirkan bahwa tempat persembunyian harta
itu sudah ada di bibirnya saat dia meninggal. Kami bisa memperkirakan besarnya kekayaan yang hilang
berdasarkan guci yang dikeluarkannya. Saudaraku Bartholomew dan aku sempat mendiskusikan guci
ini. Mutiara-mutiaranya jelas bernilai sangat tinggi, dan saudaraku merasa keberatan berpisah
dengannya karena—antara kita saja—saudaraku sendiri agak cenderung mengulangi kesalahan Ayah.
Dia juga menganggap kalau kami memberikan guci itu, akan timbul gosip yang akhirnya menimbulkan
masalah bagi kami. Tapi aku bisa membujuknya agar mengizinkan aku mencari alamat Miss Morstan
dan mengirimkan mutiara-mutiaranya secara terpisah selama selang waktu tertentu, sehingga paling
tidak Miss Morstan tidak akan pernah kekurangan."
"Anda baik sekali," kata Miss Morstan, "Anda sungguh baik."
Pria kecil tersebut mengibaskan tangan.
"Kami ini wali Anda," katanya, "aku memandangnya begitu, sekalipun Brother Bartholomew
tidak bisa beranggapan begitu. Kami sendiri sudah memiliki banyak uang. Aku tidak menginginkan
lebih banyak lagi. Lagi pula, sungguh tak pantas memperlakukan seorang wanita muda dengan cara
seperti itu. 'Le mauvais goût mène au crime.' Orang Prancis sangat pandai dalam mengungkapkan halhal
seperti ini. Perbedaan pendapat kami mengenai hal ini berlanjut sebegitu rupa, hingga akhirnya aku
merasa lebih baik mencari tempat sendiri. Jadi, kutinggalkan Pondicherry Lodge, sambil membawa
khitmutgar tua dan William bersamaku. Tapi kemarin aku mengetahui ada kejadian yang sangat
penting. Harta karunnya sudah ditemukan. Aku langsung menghubungi Miss Morstan, dan sekarang
kita tinggal menuju Norwood untuk menuntut bagian kita. Semalam sudah kujelaskan pandanganku
pada Brother Bartholomew, jadi kedatangan kita sudah diharapkan, walau mungkin tidak diterima."
Mr. Thaddeus Sholto berhenti bicara dan duduk bergoyang-goyang di kursinya yang mewah.
Kami semua membisu, sibuk memikirkan perkembangan baru dari urusan misterius ini. Holmes yang
pertama kali bangkit berdiri.
"Anda sudah melakukannya dengan baik, Sir, dari awal hingga akhir," katanya. "Ada
kemungkinan kami bisa membalasnya dengan mengungkap beberapa hal yang mungkin masih belum
Anda ketahui. Tapi, seperti kata Miss Morstan, sekarang sudah larut, dan sebaiknya kita segera
menyelesaikan masalah ini tanpa menunda-nundanya lebih lama lagi."
Kenalan baru kami tersebut dengan sangat lambat menggulung slang hookah, dan dari balik
sehelai tirai mengeluarkan mantel luar yang sangat panjang, dengan kerah.dan manset astrakhan. Ia
mengancingkan mantel tersebut rapat-rapat, sekalipun malam itu tidak bisa dikatakan dingin, dan
melengkapi pakaiannya dengan mengenakan topi kulit kelinci dengan lidah yang menutupi telinganya,
sehingga hanya wajahnya yang terlihat.
"Kesehatanku agak rapuh," katanya sambil mengajak kami melewati lorong. "Aku harus
menjaganya dengan sangat hati-hati."
Kereta masih menunggu di luar, dan jelas kegiatan kami telah direncanakan sebelumnya, karena
sang kusir segera memacu kereta secepat mungkin. Thaddeus Sholto terus-menerus berceloteh dengan
suara tinggi melengking yang mengalahkan keributan roda kereta.
"Bartholomew orang yang cerdik," katanya. "Menurut Anda, bagaimana dia bisa menemukan
harta karun itu? Dia sudah menyimpulkan bahwa harta itu disembunyikan di dalam rumah, jadi dia
menyelidiki setiap bagian rumah dan mengukur segala sesuatunya, hingga tak satu inci pun
terlewatkan. Di antaranya, ia mendapati ketinggian bangunan adalah 22 meter, tapi saat menambahkan
semua ketinggian ruangan dan memperkirakan sela di antaranya, yang dipastikan dengan
mengebornya, jumlah yang didapatkan hanya 21 meter. Ada semeter yang hilang. Dan itu hanya
mungkin di bagian atas bangunan. Oleh karena itu, dia melubangi langit-langit kamar paling atas. Dan,
jelas, di sana dia menemukan celah kecil yang sudah ditutup dan tidak diketahui keberadaannya oleh
siapa pun. Di tengah-tengahnya ada kotak harta yang diletakkan di antara dua balok penopang. Dia
menurunkan kotak itu melalui lubang, dan hartanya ternyata memang ada di sana. Dia
memperhitungkan nilai perhiasannya tidak kurang dari setengah juta poundsterling."
Mendengar jumlah yang luar biasa besar tersebut, kami semua membelalak saling pandang.
Miss Morstan, kalau kami bisa mendapatkan haknya, akan berubah dari seorang pengurus anak yang
miskin menjadi orang terkaya di Inggris. Seorang teman yang setia sudah selayaknya merasa gembira mendengar kabar itu, namun aku malu mengakui bahwa perasaan egois menguasaiku dan perasaanku
berubah sangat berat, bagai dibebani timah. Aku mengucapkan selamat dengan tergagap-gagap, lalu
menunduk diam, menulikan diri dari celoteh kenalan baru kami. Jelas ia seorang hypochondriac, dan
aku setengah menyadari bahwa ia tengah menyampaikan sederetan gejalanya, dan tengah menjelaskan
berbagai komposisi dan obat-obat tak jelas yang beberapa di antaranya ia bawa dalam sebuah kotak
kulit di sakunya. Aku yakin ia tidak ingat semua jawaban yang kuberikan padanya malam itu. Holmes
menyatakan bahwa ia tanpa sengaja mendengarku memperingatkan Thaddeus akan besarnya bahaya
mengkonsumsi lebih dari dua tetes minyak kastroli, dan merekomendasikan dosis besar strychnine
sebagai obat penenang. Apa pun yang terjadi, aku jelas merasa lega sewaktu kereta kami tersentak
berhenti dan kusirnya melompat turun untuk membukakan pintu.
"Ini, Miss Morstan, adalah Pondieherry Lodge," kata Mr. Thaddeus Sholto sambil
membantunya turun.
Salam Sherlockian.
0 komentar:
Posting Komentar